Banyak pertanyaan yang mecuat di pikiran, sesaat saya melihat berita di televisi tentang aksi bakar diri seseorang yang kemudian diketahui bernama Sondang, salah satu aktivis penegak HAM di Indonesia. Mengapa ia rela melakukan hal ekstrim seperti itu? Apa sebenarnya tujuan yang melatarbelakanginya? Masalah HAM apa yang membuatnya Aksi-aksi protesnya sebagai seorang aktivis HAM yang tidak ditanggapi serius oleh pemerintah agaknya yang menjadi salah satu alasan Sondang, itu yang pertama terlintas di pikiran saya. Kegeraman akan sikap pemerintah dalam menegakan HAM di seluruh bagian negara ini, terutama daerah timur Indonesia, bukanlah sesuatu yang mengherankan dan sudah banyak aksi protes tentang itu, terlebih sikap yang ditunjukan pemerintah tidak sesuai dengan yang inginkan oleh para aktivis.
HAM (Hak Asasi Manusia) itu sendiri yang di tulis dalam UU No.39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaban manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormatim dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh pemerintah , dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dan hak-hak yang dilindungi disebutkan dalam UU tersebut meliputi: hak untuk hidup, hak berkeluarga, dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, serta hak wanita dan anak anak (Hamidi, 2010:223). Hal-hal itu lah yang menjadi tuntutan oleh saudara-saudara kita di Timur Indonesia, Papua. Hak untuk hidup dengan tenang, sejahtera, dan mendapatkan keadilan. Sederhana, namun sampai saat ini masyarakat di Papua belum merasakan kesejahteraan yang harusnya diberikan secara adil oleh pemerintah.
Pembangunan yang tidak merata di setiap daerah dan berbagai lainnya adalah tantangan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam. Memang setelah saya membaca banyak berita dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, sangat rumit permasalahan yang terjadi. Permasalahan ini bukan hanya melibatkan satu bidang dalam pemerintahan, namun hampir di seluruh bidang dalam pemerintahan pusat maupun di Papua itu sendiri yang melakukan pelanggaran hukum. Mulai dari permasalahan politik yang sering membuat konflik, ekonomi, sampai masalah korupsi. Tidak benar jika dikatakan tidak ada satupun orang yang merasa tercukupi kebutuhan dan kesejahteraannya di Papua. Mereka tentunya adalah pejabat daerah yang seharusnya bertanggung jawab atas kesejahteraan daerahnya, bukan hanya kesejahteraan sendiri.
Dalam memenuhi kebutuhan rakyat pemerintah pusat berusaha untuk memberikan keadilan melalui otonomi yang diberikan langsung ke pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah dapat melakukan perbaikan dan pengembangan daerahnya. Tak kurang pemerintah pusat telah memberikan kebijakan tersendiri kepada pemerindah daerah Papua dengan “Otonomi Khusus”-nya, dan di dukung pula dengan pemberian dana Otonomi Khusus (otsus) yang terbilang sangat besar kepada daerah ini untuk membangun dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya, yaitu Rp 30 Triliyun (Depdagri,2011). Lalu, dengan dana 30 Triliyun tersebut ternyata belum juga cukup untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Papua, Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab atas ini nyatanya tidak menunjukan pembuktiannya. Kesenjangan kualitas kehidupan dan perekonomian masih sangat jauh, ada yang sangat kaya dan masih banyak yang hidup dalam kemiskinan. Sudah pasti larinya dana otsus banyak ke tangan pribadi pejabat-pejabat daerah. Apa ini bukan dinakamakan penjajahan? Hal ini secara tidak langsung adalah penjajahan, dimana pengambilan hak rakrat oleh wakil rakyat dan membiarkan banyak masyarakatnya tetap hidup dalam garis kemiskinan, sangat jauh dari kesejahteraan.
Hal diatas juga semakin melunturkan rasa kepercayaan dan menambah kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah, penyaluran dana yang ditujukan untuk kemakmuran masyarakat dan pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah kurang mencerminkan besarnya dana yang ada. OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang telah lama berdiri (1965) pun semakin semangat dalam mewujudkan kemerdekaannya. Adanya Kongres Rakyat Papua (KRP) hingga ketiga kalinya, pada dasarnya adalah usaha memprovokasi masyarakat Papua agar meraih kemerdekaan dengan memisahkan diri dari NKRI. Kongres tersebut sebetulnya tidak mewakili seluruh masyakat Papua, OPM itu sendiri yang memiliki beberapa organisasi yang memiliki tujuan yang sama, dan menguasai kongres tersebut.
Pemerintah pun sepertinya terlalu mengedepankan kekuatan militer yang cenderung melakukan kekerasan dalam menangani berbagai masalah Papua. Pengiriman angkatan brimob dalam menyelesaikan hampir setiap masalah di Papua sebenarnya bukan menyelesaikan masalah, namun menimbulkan masalah baru, ketakutan warga-warga sipil akan anggota militer tidak dibuat-buat. Anggota brimob yang merupakan anggota pemusnah dalam kemiliteran Indonesia yang ditugaskan ke Papua untuk mengamankan keadaan disana, untuk melindungi masyarakat dari aksi OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang terkadang meresahkan warga sipil seperti penyanderaan, ternyata tidak sepenuhnya membantu masyarakat, perlakuan yang semena-mena terhadap masyarakat tak jarang terjadi. Bukan hanya kekerasan psikis yang didapatkan oleh warga sipil di Papua, tetapi juga kekerasan fisik dan seksual (Komnasperempuan, 2011). Sehingga terlihat kekuatan terbesar di Papua adalah militer, TNI Polri dan Brimob. Konflik yang sebenarnya terjadi adalah anatara OPM dan aparat keamanan. Penangkapan anggota atau orang-orang yang menjadi bagian dari OPM oleh aparat keamanan pemerintahan yang tidak manusiawi, dan penggunaan senjata untuk menaklukan OPM yang juga seringkali malah mengenai warga sipil, dapat menjadi pemanas bagi warga dan menimbulkan sifat antipasti terhadap pemerintah. Tidak semestinya aparat melakukan hal seperti itu, bagaimanapun mereka masih warga negara Indonesia dan manusia, memiliki hak untuk hidup.
Terbukti saat dilakukan Kongres Rakyat Papua beberapa waktu lalu, terjadi pelanggaran HAM hingga jatuhnya korban, baik yang di dalam kongres atau warga sipil di sekitaran tempat dilaksanakannya kongres. Bagaimana lagi warga harus meminta perlindungan jika pelindung yang diberikan pun malah memberikan ancaman kepada mereka? Sebaiknya dilakukan diskusi dengan kepala dingin dengan masyarakat asli Papua tentang solusi pemberian kesejahteraan oleh pemerintah pusat, bukan pengiriman aparat keamanan yang menghilangkan kenyamanan secara terus-menerus untuk permasalahan yang sebenarnya dapat di diskusikan.
Betapa besar potensi Papua dan sangat berpengaruh bagi kelangsungan kemajuan bangsa. Papua akan selamanya menjadi bagian dari Indonesia, jika kesejahteraannya tercukupi. Perbaiki moral bangsa dan jadikan pemimpin yang selayaknya pemimpin, kekerasan bukanlah untuk menguasai karena setiap manusia memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan.
Referensi:
Hamidi, Jazim. (2010). Civil Education. Penerbit: Gramedia Pustaka Utama.
Komnasperempuan. (2011). Pendekatan Keamanan di Papua Menyebabkan Kekerasan dan Pelanggaran HAM, Menghapus Rasa Aman dan Menghilangkan Rasa Percaya Masyarakat Terhadap Pemerintah. [online]. Diakses dari: http://www.komnasperempuan.or.id/2011/11/pendekatan-keamanan-di-papua-menyebabkan-kekerasan-dan-pelanggaran-ham-menghapus-rasa-aman-dan-menghilangkan-rasa-percaya-masyarakat-terhadap-pemerintah. [Diakses pada: 13 Desember 2011]
Depdagri. (2011). Dana Ostus Rp 3 Triliun Cair, Rakyat Papua Masih Miskin. [online]. Diakses dari:http://www.depdagri.go.id/news/2011/11/16/dana-otsus-rp-3-triliun-cair-rakyat-papua-masih-miskin. [Diakses pada 13 Desember 2011]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar